Kamis, 11 April 2013

Wae Balak, St Klaus


Wae Balak, Pesona Kecantikan Alam yang Tersembunyi
Nun jauh di Manggarai, Flores, NTT, tersimpan satu di antara beberapa kekayaan objek wisata, seperti kekayaan alam, budaya, dan sebagainya. Satu kekayaan alam itu adalah sebuah tempat wisata rohani yang tersembunyi dari peta tujuan wisata rohani orang-orang katolik Manggarai. Tempat wisata rohani itu adalah Wae Balak.

Kapela Wae Balak
Pada saat perayaan misa bulan Maria (Dok: foto Oktober 2011)

 
Dikatakan sebagai tempat wisata rohani karena tempat ini menjadi tujuan ziarah, tempat orang-orang Katolik biasa berdoa. Daya tarik dari tempat ini adalah sebuah kapel kecil yang sudah berusia tua. Kapel ini agak unik karena dinding-dinding temboknya terbuat dari batu dengan campuran semen. Itu berarti, dia tidak menggunakan batako atau bata dari tanah (bata merah) seperti yang lazim dipakai pada bangunan rumah-rumah warga. Selain itu, keseluruhan model bangunannya agak unik, misalnya atap yang condong berbentuk kubah, interiornya agak unik. Kapel ini bisa dibayangkan seperti perumahan penduduk Eropa abad 17 terutama perumahan-perumahan di daerah pertanian Inggris. Hal ini bisa dimaklumi karena Kapel ini dibangun oleh seorang biarawan-misionaris asal Swiss bernama Pater Ernest Wasser SVD.
Kapel ini terletak persis di bantaran kali wae balak. Untuk menggapai kapel ini, pengunjung harus menuruni beberapa “anak tangga alam’. Ia berada di dataran sempit. Ia tersembunyi dari pandangan umum. Di sekitar kapel ini para siswa angkatan awal SMP-SMA  St Klaus telah menanam sejumlah pohon pelindung seperti mahoni, ampupu, sengon dan lain-lain. Pepohonan ini turut memberi kesejukan serta keindahan di sekitar kapel ini. 
Belum diketahui sebab dasar mengapa kapel ini didirikan tepat di bantaran sungai wae balak dan letaknya agak tersembunyi. Tetapi keberadaannya yang tersembunyi justeru meningkatkan daya tarik orang untuk mengunjunginya.      
Pada satu kesempatan di tahun 2011 yang lalu, para imam keuskupan Ruteng mewacanakan tempat ini sebagai kapel adorasi abadi. Kapel adorasi abadi berarti kapel yang secara khusus dibuka selama 24 jam untuk dikunjungi umat Allah berdoa di hadapan sakramen maha kudus. Sampai saat ini, wacana ini belum terealisasi karena alasan keamanan di kompleks SMP-SMA St Klaus yang berada di dekat kapel itu. Bisa dibayangkan, apabila kapel ini menjadi kapel adorasi abadi maka pengunjung akan hilir mudik mendatangi tempat ini. Persoalannya adalah, akses jalan untuk sampai ke tempat itu harus melewati kompleks asrama dan sekolah SMP-SMA St Klaus. Kemungkinan ini segera dihindari mengingat hal itu kurang mendukung suasana sistem boarding school yang lebih membutuhkan ketenangan bagi para siswa.
Sebenarnya tempat ini amat strategis untuk menjadi kapel adorasi abadi. Selain letaknya yang cukup tersembunyi dari keramaian, tempat ini juga agak sejuk dan nyaman. Dengan demikian, tempat ini bisa menjadi salah satu pilihan wisata rohani yang menjanjikan di masa depan. Hal yang perlu dibenah adalah akses jalan ke tempat itu.
Gua Maria Wae Balak
Tak jauh dari kapel unik ini, ada juga sebuah gua Maria. Sekitar 30 meter dari kapel ini, gua itu tampak kokoh dan kuat karena ia dibangun dengan cara memahat dinding batu yang mempunyai tingkat kemiringan kurang lebih 90 derajat. Tersedia halaman kecil di depan gua, dengan ukuran halamannya sekitar 5X8 meter. Di halaman sempit inilah biasanya anak-anak St Klaus berdoa kepada Tuhan dengan memohon bantuan St maria. Jika harus mengadakan perayaan ekaristi di tempat ini, maka halaman ini bisa dijadikan tempat panti imam. Umat yang menghadiri misa di tempat ini akan berdiri atau duduk di lereng-lereng sempit. Keadaan ini memberi sensasi tersendiri karena umat sangat menikmati situasi yang cukup menantang ini sambil menjaga kekhusukan perayaan liturgi itu.

Gua Maria, sebagaimana tradisi umat katolik digunakan sebagai tempat berdoa. Pada gua itu, ditahtakan patung St perawan Maria. Di tempat ini, umat katolik akan berdoa kepada Tuhan melelui pengantaraan sang bunda. Keyakinan bahwa maria sebagai pengantara doa, memiliki dasar biblis yang kuat yakni, kisah perkawinan di Kana (Injil Yohanes). Melalui permintaan Maria, Yesus membuat mujizat yakni mengubah air menjadi anggur pada peristiwa pesta perkawinan itu. Menariknya, mujizat itu adalah yang pertama dalam catatan historis para rasul.
Atas dasar keyakinan yang sama, anak-anak St Klaus juga membuat devosi khusus kepada Maria. Selain pada bulan Mei dan Oktober (bulan Maria), anak-anak st Klaus sering mengunjungi gua ini. Bila saya perhatikan, mereka biasa mengunjungi gua maria wae balak ini menjelang hari-hari ujian. Tentu saja ada intensi khusus. Saya hanya menafsirkan prilaku ini secara sosiologis. Bahwa aktivitas mengunjungi gua maria ini meningkat saat-saat menjelang ujian. Saya kira, ini adalah reaksi yang lumrah. Ketika akan menghadapi tantangan, semua orang menyiapkan diri, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Dalam konteks menghadapi ujian, maka yang dibutuhkan oleh seorang siswa adalah ketenangan batin menghadapinya. Ketenangan batin itu bisa diperoleh, salah satunya  dengan cara mengunjungi tempat ini untuk hening sejenak, melepaskan ketegangan, ketakutan, menghadapi tantangan di depan.
Dua objek menarik ini berada di kompleks Wae Balak. Secara geografis, tempat ini terkesan “dilindungi” oleh bebrapa komunitas yang ada di sekitarnya. Di sekitar objek wisata ini ada lima  komunitas besar. Kelimanya adalah, rumah bina para frater novisiat Sang Sabda (SVD), Unio Projo Ruteng, paroki St Klaus Kuwu, Lembaga pendidikan SMP-SMA st Klaus Kuwu, Biara susteran Reinha Rosari (PRR). Kehadiran beberapa komunitas ini seolah mendukung kesunyian tempat ini, dan sebaliknya, keberadaan beberapa komunitas ini bisa dijadikan sebagai bagian dari daftar paket wisata rohani jika harus mengunjungi Wae Balak ini.    
Selamat berkunjung!

Aku dan Facebook (sebuah Parodi)

Aku dan Facebook (Sebuah Parodi) Ada satu pengalaman yang menonjol dimana saya sering melakukannya dan akan terus melakukannya, tanpa saya tahu kapan itu brakhir. Hal itu tak lain adalah tentang pergaulanku dengan jejaring sosial yang bernama facebook. Sampai saat ini saya belum menemukan arti leksikal dari kata facebook itu sendiri. Pernah dalam satu kesempatan saya bertanya kepada teman saya begini ”memangnya facebook itu artinya apa ya? Dia menjawabnya demikian, “ya facebook tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Tapi kalau diuraikan, leksikalnya bisa berarti buku wajah, karena di dalam facebook itu kita bertemu banyak wajah. Dalam keadaan tidak mengerti saya mengangguk saja. Untuk diketahui, dalam setahun belakangan ini saya sangat akrab dan cukup aktif bergaul dengan jejaring sosial ini. Pertama kali saya tertarik dan mendaftar di facebook sebenarnya bukan karena ingin bertemu sahabat-sahabat lama sebagaimana ide awal Mark Zuckerberg sebagai pendirinya. Tetapi oleh karena suatu situasi yang tidak mengenakkan yang saya alami. Saya merasa tidak enak karena teman-teman saya suka membicarakan tentang facebook ini, Mereka menceritakan tentang teman mereka dari Manado, Kupang, Ruteng, Jakarta yang cantik-cantik katanya. Mereka juga bercerita tentang pertemuan mereka kembali dengan pacarnya waktu SMP sekitar 7-8 tahun yang lalu, tentang teman kelas yang dulu rambutnya kribo dan badan kurus tetapi sekarang sudah berambut air dan seksi, tentang teman dekat mereka yang di dalam foto profilnya tampak seperti ita purnama sari, sedangkan bila dilihat langsung tampak seperti “ita poti” (melihat setan). Juga tentang teman yang dulu agak pintar dan sekrang sudah sukses. Berada di antara teman yang berbicara tentang facebook, saya merasa sangat terasing. Lama kelamaan, akhirnya Saya sadar juga, bahwa FB adalah sesuatu yang populer dan jika saya tidak terlibat di dalamnya betapa culunnya saya. Maka diam-diam saya juga tidak sabaran menikmati sensasi bertemu teman-teman di facebook. Saya akan merasa ikut populer, tidak culun jika ambil bagian dalam semua perkembangan yang telah terjadi. Kata Samuel Mulia, populer di zaman dulu amat berbeda dengan populer jaman kini. Kalau zaman dulu, orang akan populer jika mempunyai karya yang unik, mengagumkan, kurang lebih seperti si pendiri facebook tadi. Tapi di jaman ini, setiap orang merasa diri ikut populer jika ia bisa mengupload foto barengnya dengan orang-orang populer, tempat-tempat populer, dan hal-hal populer lainnya. Mungkin ini juga perbedaan mindset manusia jaman ini dan dulu. Kembali pada kisah facebook....Dengan bantuan seorang pastor muda saya mulai mendaftarkan diri. Saya melaporkan semua tentang diri saya dan keluarga saya. Nama lengkap, TTL, tempat domisili, tamatan dari mana-mana, sedang berhubungan atau lagi lajang, hobi, acara kesukaan dan lain-lain..Karena merasa semuanya penting, maka saya laporkan secara jujur, nama depan belakang, acara kesukaan bernad bear dan tom n jery, dan seterusnya... Setelah semuanya beres, secara resmi saya telah menjadi anggota dari jejaring sosial ini. Saya mulai meng-add teman-teman. Awalnya saya kaget, melihat teman SD saya yang telah berpisah cukup lama kini ia telah berambut gondrong, yang lain lagi mulai tampak cantik dan “dimaui”, yang lain lagi sudah berkeluarga. Saya semakin penasaran, melihat teman-teman itu menampilkan foto-foto yang mengagumkan. Ada yang sedang memeluk pacarnya, ada yang bernama joana dipasang foto barbie yang cantik, seorang bernama Jony menggunakan foto Brad Pitt, yang bernama Frysto dipasang foto persawahan, dan tak jarang yang jelas-jelas bernama seorang laki-laki seperti Gabriel, Mikael, dipasangi foto perempuan. Melihat penampilan foto-foto itu, mata saya agak silau. Sebelum benar-benar menjadi silau, dab untuk memperjelas penglihatan, saya meminjam kaca mata semiotika Roland Barthes. Saya mulai membaca gambar-gambar itu...Ternyata; foto (pose) itu adalah tanda. Sebagai tanda ia membawa makna tertentu. Foto-foto itu pasti sedang mengungkapkan realitas tertentu. Yang berfoto dengan latar buaya darat Komodo, bisa berarti dia hendak mengatakan bahwa dia sudah pernah ke pulau komodo. Berfoto dengan latar belakang tugu monas hendak menceritakan bahwa dia sudah pernah ke ibu kota. Jadi ternyata foto mengandung makna tertentu yang oleh Roland Barthes menyebutnya sebagai mitos. Mitos-mitos diciptakan untuk memberi makna tertentu pada diri sesorang. Orang merasa senang dengan foto di tempat yang terkenal, berfoto dengan orang-orang terkenal, pokoknya yang bersifat publik. Sekali lagi, makna diri yang hebat di sini tidak lagi ditentukan oleh apa yang telah dibuat, tetapi cukup dengan menjual sesuatu yang artifisial. Setelah meng-add cukup banyak teman, tua muda, cantik atau agak cantik, dan klasifikasi lainnya, ada yang memberi konfirmasi lebih cepat, dan ada yang agak lambat. Kata teman Pastoral saya, supaya dapat teman yang banyak, kita harus memasang foto yang menarik. Katanya foto profil itu mesti jaim (jaga image). Ada banyak cara supaya kita tampak jaim, diantaranya foto berjubah supaya orang tau kita sedang jomblo, foto dengan latar belakang gereja atau gua maria supaya image religiusnya dapet, foto close up sedang senyum supaya image ceria dan mudanya dapet, dan banyak lagi yang lainnya. Singkatnya foto itu harus berbicara, berbicara tentang diri yang muda, diri yang ganteng, yang gaul, dan sebagainya. Mendengar penjelasan beliau, saya mulai memasang foto profil pilihan saya. Karena tidak percaya dengan kegantengan diri sendiri, Saya memilih foto Jorge Lorenzo, atlet balap moto GP. Maklum dialah atlet faforit saya. Nama Gabriel Ediman berwajah Lorenzo. Aslinya 27 tahun agak kriput, meski Lorenso baru 25 tahun, energik dan terkenal. Rasanya lebih enak kalau tampak lebih muda, lebih ganteng, lebih populer dan seterusnya. Beberapa waktu setelah saya upload, foto profil itu dikomentari bermacam-macam. Mantan murid saya berkomnetar begini: “—Oh frater fans sama Lorenzo ya...” “ Oh..frater yang tidak pernah tau bawa dan ( tidak memiliki) motor kok fans sama pembalap? Yang lain lagi lebih seru karena rumusannya agak matmatis: “Frater= Lorenso”... Coment yang terakhir ini saya belum paham artinya...hihihi Saking senangnya olah raga balap motor, maka segala hal yang berbau motor saya suka termasuk mengambil kesempatan untuk difoto dekat dengan motor. Pada satu kali, saya juga pernah difoto dengan latar belakang motor sport milik orang lain yang diparkir di luar gereja. Ketika pemiliknya “menghilang” ke dalam gereja, saya manfaatkan waktu itu. Setelah difoto, seperti biasa, saya menguploadnya... Komentar teman-teman juga beragam. Oh...itu motor punya kamu ya.. Yang lain lagi: (teman angkatan) “macamnya motor lebih ganteng...dst .... Selain mengupload foto, saya ingin ceritakan tentang status-status yang saya tulis. Meski saya seorang jomblo sejak dulu hingga kini, saya cukup rajin menngupdate status... Di kolom status ini biasanya disediakan pertanyaan begini: apa yang sedang anda pikirkan? Atau apa yang sedang terjadi? Saya menulis dan mengupload status saya sejak pagi hingga malam. Saat bangun tidur saya menyapa semua orang dan segala makhluk dengan salam manis, “slamat pagi dunia”. Seblum makan siang saya akan mebuat status yang agak ramah: “waktunya makan siang, yuk kawan-kawan Fbku, bergabunglah bersama kami”. Slanjutnya saat mandi sore hingga malam harinya seblum tidur saya akan katakan selamat bobo semuanya.... Singkatnya saya tak ingin aktivitas saya tidak diktahui smua orang. Waktu saya sakit saya, tidak lekas tidur sebelum saya mengumumkan bahwa saya sedang sakit. Demikianpun saat saya mengantuk saya tak lekas tidur seblum saya mengumumkan dalam status “waktuku untuk bobo...” Itulah aktivitas saya ketika berkenalan dengan jejaring sosial ini pertama kalinya. Aktivitas ini terus saya lakukan hingga saat ini. Kalau kamu menghitung waktu saya, berapa lama waktu yang saya pakai untuk terlibat di kota digital ini? Kalau saya hitung-hitung seluruhnya, normalnya 2-3 jam. Itu berarti, dalam 1 tahun saya mambutuhkan waktu kurang lebih 700-1000 jam. Wow...waktu yang tak singkat tentunya... Saya pernah berpikir, apakah semuanya bermakna? Apakah dengan bermain facebook sepanjang waktu, saya ikut mengaktualisasikan diri sendiri sebagaimana seharusnya? Ah...terlalu rumit berpikir tentang “makna” apalagi di jaman kini yang semuanya mengagungkan ” image” Akhirnya saudara-saudari, Sebagai sebuah kilasan parodi saya juga mengungkapkan beberapa kenyataan yang menyertai pengalaman di atas... 1. Setelah mengenal facebook; saya sering senyum-senyum sendiri. Kamu boleh menyebut saya gila .Tentang hal ini sebenarnya saya sendiri tidak sadari. Tak jarang siswa-siswi menyadarkan saya begini, frater kok senyum-senyum sendiri dengan HPnya”. Maklumlah, dulu facebook ini masih gratis, maka ia dibuka setiap saat; di kamar, di lorong-lorong, di dalam bemo, di WC, bahkan di dalam kelas atau ruang kuliah. Bahkan saya tidak peduli kalau teman di samping saya hanya seorang. Saya kadang menyadari bahwa inilah yang namanya pemampatan waktu secara psikologis. Saya dekat secara psikologis dengan orang di seberang yang sedang berkomunikasi dengan saya, tetapi jauh dengan orang yang dekat dalam waktu nyata? Ini menunjukkan bahwa Interaksi sosial yang dijabarkan dalam sosiologi klasik tampaknya tidak berlaku di sini. Orang tidak membutuhkan ruang dan waktu nyata untuk bersosialisasi karena semuanya bisa terjadi bahkan dalam dunia maya sekalipun. 2. Setelah memiliki akun Fb yang dibuka di warnet terdekat, maka timbullah sebuah kebutuhan dalam diri saya untuk selalu berhubungan dengan teman-teman saya. Kebutuhan untuk selalu berkomunikasi dirasakan perlu untuk setiap saat, saat sakit, saat bepergian, saat makan, bahkan saat tidur. Saya ingin mengetahui keadaan teman-teman. Selain itu, saya merasakan bahwa teman-teman juga perlu mengetahui keadaan saya. Oleh karena itu, untuk merealisasikan maksud itu, saya harus memiliki HP jenis tertentu yang mempunyai fitur FB, yang bisa dibawa ke mana-mana dan bisa dibuka kapan saja. Supaya lebih lengkap maka dicarilah HP berfitur FB tapi juga berkamera dengan resolusi tinggi, biar gambarnya lebih terang kalau saya mengupload diri sendiri. Itulah parodi diri saya. Saya senang mengolok diri sendiri yang cinta mati pada FB, bahkan saat waktu kronos ini berganti...

Rabu, 19 Desember 2012

Parodi Natal

Hari raya natal belum tiba. Namun hati saya sudah mulai dug-dag-dug. Rasanya seperti berdiri dekat bedug yang dibunyikan oleh seorang pemukul berotot. Sebenarnya rasa dug-dag-dug yang saya alami ini terjadi di sekitar wilayah dada (sekwilda). Hal itu terjadi ketika saya selalu memikirkan hari natal itu. Saya sendiri hanya bisa menyaksikan sebuah gejala magis dalam kontraksi saraf otak dengan apa yang terjadi di sekwilda-ku ini. Mungkin suatu waktu nanti (setelah natal) akan saya konsultasikan prihal gejala ini. Saya akan tanyakan negini pada dokter; mengapa muncul perasaan dug-dag-dug persis ketika saya baru selesai memikirkan (membayangkan) sesuatu yang akan terjadi pada waktu mendatang?

Kejadian persisnya seperti ini...